Kamis, 28 Juli 2011

2 Agustus 2011

2 Agustus 2011
Mat. 15:1-2,10-14
            Sekelompok orang Farisi dan beberapa guru agama dari Yerusalem datang kepada Yesus. Mereka bertanya kepada-Nya, "Mengapa pengikut-pengikut-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Waktu akan makan, mereka tidak mencuci tangan lebih dahulu menurut peraturan!” Kemudian Yesus memanggil orang-orang dan berkata kepada mereka, "Dengarlah supaya mengerti! Yang masuk ke mulut tidak membuat orang itu najis; hanya yang keluar dari mulutnya, itulah yang menjadikan dia najis." Lalu pengikut-pengikut Yesus datang dan berkata kepada-Nya, "Tahukah Bapak bahwa orang-orang Farisi itu tersinggung waktu mendengar Bapak berkata begitu?" Yesus menjawab, "Setiap tanaman yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku di surga akan dicabut. Tidak usah hiraukan orang-orang Farisi itu. Mereka itu pemimpin-pemimpin buta; dan kalau orang buta memimpin orang buta, kedua-duanya akan jatuh ke dalam parit.”

Menjaga Kebersihan Hati
Sepulang dari sekolah Yudha melihat ayah, ibu, dan Leo kakaknya telah siap bersantap siang di meja makan. Kemudian Yudha pun segera melempar tas sekolahnya dan segera berhambur menuju ke meja makan. Belum sempat duduk, ia langsung menyahut piring dari atas meja dan hendak segera menuangkan nasi ke dalam piringnya. Leo yang melihat sikap Yudha langsung menegur, ”Coba lihat! Apa yang kau lakukan itu sudah benar?! Lihat sekali lagi, ayah dan ibu yang menunggumu saja belum mengambil nasi, kita belum berdoa bersama, dan lagi apa kamu sudah cuci tangan sebelum ke meja makan?!” “Ah, namanya juga orang lapar. Lagian, Tuhan Yesus aja gak melarang kita makan tanpa cuci tangan kok. Kenapa kakak yang sewot.” ujar Yudha sekenanya. “Yudha. Tolong duduk sebentar dan dengarkan ayah.” sahut ayah. “Memang Tuhan Yesus tidak melarang kita makan tanpa cuci tangan. Tapi, waktu itu Tuhan Yesus berkata demikian karena Ia hendak menentang orang-orang Farisi yang memandang cuci tangan sebagai peraturan. Karena mereka lebih mementingkan peraturan dan menganggap orang yang makan tanpa mengikuti peraturan tersebut menjadinya najis. Tapi bagi Tuhan Yesus, bukan pertama-tama soal sudah cuci tangan atau belum yang menjadikan makanan itu najis atau tidak, melainkan soal hati. Jadi, bila sekarang kita harus cuci tangan terlebih dahulu sebelum makan, itu bukan menyangkut soal peraturan, melainkan soal kebersihan. Apa kamu tidak sadar kalau apa saja yang sudah kamu pegang selama di sekolah dan selama perjalanan pulang dari sekolah sampai ke rumah telah menjadikan tanganmu kotor?” Demikianlah ayah mencoba memberi pengertian kepada Yudha. Lalu Yudhapun segera melangkahkan kaki menuju westafel untuk mencuci tangan. Setelah kembali ke meja makan, tiba-tiba Yudha marah-marah pada Leo karena lauk yang paling ia sukai yang tadi masih tersedia di piring telah habis diambil kakaknya itu. Melihat sikap Yudha itu ayahpun segera menegurnya, “Yudha, mengapa kamu mudah sekali marah? Apakah jika lauk yang satu sudah habis berarti sudah tidak ada lauk lain yang bisa dimakan? Seharusnya kita lebih bersyukur karena masih bisa makan lengkap dengan lauk dan sayur seperti ini.” “Tapi, ayah. Itu kan lauk kesukaan Yudha!” gerutunya. “Marah, menggerutu, dan tidak tahu bersyukur itulah yang bisa menjadikan najis. Semuanya itu berasal dari sikap hati yang buruk.” kata ayah, “Ayah tidak bermaksud membela kakakmu, tapi ayah ingin mengingatkanmu supaya belajar bersyukur dan belajar menjaga hati supaya selalu bersih dan lebih bersabar. Inilah sebenarnya yang dinginkan oleh Tuhan Yesus.”
Benarlah yang dinasihatkan ayah kepada Yudha. Menjaga kebersihan hati sungguh lebih penting dari sekedar menjaga kebersihan tangan maupun tubuh luar. Nah, apakah kita juga sudah berusaha untuk selalu menjaga kebersihan hati atau membersihkannya ketika dikotori oleh amarah, iri hati, maupun kebencian? (Karla Larasati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar